Banda Aceh - Cucu Sultan Aceh yang juga Pemimpin Darud Donya Aceh Darussalam Cut Putri mengatakan bahwa sejarah Aceh adalah sejarah kebesaran di masa lalu. Pada zaman dahulu banyak raja-raja besar yang memimpin Aceh.
Salah satu raja terkenal adalah Sultan Alaidin Riayatsyah Sayyidil Al Mukammil (1589-1604 M). Sultan Sayyidil Mukammil adalah Sultan besar Aceh pada zamannya.
Sultan Alaidin Riayatsyah Sayyidil Al Mukammil adalah Kakek Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) dari sebelah Ibunya yang bernama Putri Indra Bangsa.
Sultan Sayyidil Mukammil adalah keturunan Dinasti Darul Kamal. Pada zaman sebelum Kesultanan Aceh Darussalam dikenal Kerajaan Lamuri, kemudian Lamuri dipecah menjadi dua yakni Kerajaan Meukuta Alam yang dipimpin oleh Sultan Syamsu Syah, dan Kerajaan Darul Kamal yang dipimpin oleh Sultan Alaidin Inayat Syah.
Garis keturunan Sultan Sayyidil Al Mukammil adalah: Sultan Sayyidil Al Mukammil Bin Sultan Firman Syah Bin Sultan Muzaffar Syah Bin Sultan Inayat Syah Bin Sultan Abdullah Malikul Mubin Darul Kamal.
Sultan Sayyidil Al Mukammil naik tahta pada tahun 1589 M, ada yang mengatakan dalam usia 100 tahun lebih.
Dalam laporan John Davis dari Inggris, pada saat berjumpa Sultan Sayyidil Al Mukammil usia Sultan saat itu sudah 120 tahun, namun masih sangat sehat dan memerintah Kerajaan dengan baik.
Pada zaman Sultan Sayyidil Mukammil, Sultan Membangun kembali pelabuhan Aceh sehingga pedagang di seluruh dunia datang ke Aceh. Sultan memerintah dengan adil dan melaksanakan hukum Islam dengan tegas. Salah satu kebiasaan Sultan adalah duduk dengan para sufi dan ulama besar membahas ilmu hakikat.
Pada Zaman Sultan Sayyidil Mukammil, Sultan Muhammad III atau Mehmed III (1595-1603 M) dari Kekhalifahan Turki Utsmani mengirimkan hadiah kuda tizi dari Istanbul kepada Sultan Aceh.
Kuda Tizi Istanbul dari Khalifah Turki Utsmani inilah yang digunakan oleh Sultan Iskandar Muda dalam perlombaan kuda ketika utusan Portugal Dong Davis dan Dong Tumis datang ke Aceh. Perlombaan kuda ini dimenangkan oleh Sultan Iskandar Muda, dan membuat utusan Portugis kalah karena kehebatan Kuda Tizi Istanbul.
Sultan Sayyid Al Mukammil juga menjalin hubungan dengan Raja Persia dari Dinasti Safawi Shah Abbas 1 (1587-1629 M), yang merupakan Sultan paling terkenal dari Dinasti Safawi Persia.
Sultan juga menjalin hubungan dengan negara-negara Eropa, Portugis dan Spanyol, yang memilih berdamai dengan Aceh.
Pada zaman Sultan Sayyidil Al Mukammil yang terkenal bergelar Shah Alam, seorang Ulama terkemuka Bukhari Al Jauhari mengarang kitab Tajussalatin Mahkota Segala Raja-Raja dengan mengutip banyak sumber dari kisah Persia.
Pada zaman Sultan Sayyid Al Mukammil, Belanda dibawah pimpinan Cornelis De Houtman datang ke Aceh pada tahun 1599 M. Belanda menunjukkan kekayaannya dengan memperlihatkan permata, namun Sultan sama sekali tidak terkesan. Sultan kemudian memperlihatkan permata yang berlimpah dan kekayaan emas istana yang membuat orang Belanda melongo terheran-heran. Belanda tak menyangka begitu besar kekayaan Aceh saat itu.
Sultan Sayyidil Mukammil lalu mengutus utusan ke kapal De Houtman, namun orang Belanda yang mabuk kemudian membunuh utusan Sultan Aceh tersebut. Akhirnya Sultan memerintahkan Laksamana Malahayati menghabisi Cornelis De Houtman dan menangkap Frederick De Houtman. Insiden ini amat terkenal dalam sejarah sampai ke Eropa.
Kemudian Raja Belanda Prinst Maurits Van Nassau memohon maaf dan membujuk Sultan Aceh agar mau berdamai. Akhirnya Sultan mengabulkan, dan Belanda pun dapat kembali berdagang di Aceh.
Ratu Inggris juga mengirimkan Laksamana Lancaster pada 1602 M ke Aceh, untuk membina hubungan perdagangan secara resmi. Ratu memuji Sultan Aceh dan kebesaran Kesultanan Aceh Darussalam, sebuah kerajaan besar yang bisa melawan Portugis. Sedangkan Sultan Aceh memuji Ratu Inggris, seorang wanita hebat yang dapat memerintah sebuah Kerajaan besar di Eropa. Hubungan baik ini membuat orang Inggris dapat berdagang dengan baik dan dihormati di Aceh.
Sultan juga menjalin hubungan dengan berbagai negara lainnya, dan memajukan perdagangan Aceh. Pada masa itu banyak ulama besar yang datang dari berbagai penjuru dunia untuk mengajar di Aceh, termasuk dari Arab dan negeri Timur Tengah.
Pada tahun 1604 M Sultan turun tahta, dan setahun kemudian pada tahun 1605 M Sultan Sayyidil Al Mukammil kembali ke Rahmatullah, dan dimakamkan secara adat kerajaan Aceh Darussalam di Kompleks Kandang Blang Merduati Bandar Aceh Darussalam.
"Kearifan para Raja-Raja pemimpin Aceh dahulu, serta sejarah kebesaran Kesultanan Aceh hendaknya menjadi iktibar dan pelajaran bagi generasi kini dan akan datang. Bahwa Aceh sejatinya adalah sebuah negara besar yang kaya raya dan makmur bermartabat di mata dunia, apabila dapat dikelola dengan baik oleh pemimpin yang dekat dengan Allah, yang mencintai dan dicintai rakyatnya", ujar Pemimpin Darud Donya Aceh Darussalam.
"Dengan belajar dari sejarah kebesaran Aceh, dan mengambil segala hikmahnya, semoga Aceh kembali menjadi negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, negeri yang baik yang dirahmati dengan pengampunan Allah, negeri yang makmur dan damai, dimana kebaikan alamnya selaras dengan kebaikan perilaku penduduknya", do'a Cucu Sultan Aceh.