Banda Aceh - Taqwaddin, Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Tinggi Aceh menyampaikan apresiasinya atas hadirnya Penghubung Komis Yidisial (PKY) di Aceh. "Saya memberi apresi atas kehadiran Penghubung Yudisial di Aceh. Silakan bertugas melaksanakan fungsinya. Penghubung Komisi Yudisial (PKY) Aceh harus bisa menjadi model bagi PKY di provinsi lainnya. Menurut saya, kehadiran PKY harus bisa memberi manfaat nyata untuk meningkat kualitas proses penegakan hukum di Aceh. Jum'at (23/8).
Sesuai mandat konstitusi, Komisi Yudisial (KY) memiliki fungsi dan kewenangan dalam proses seleksi Calon Hakim Agung dan menjaga etik dan perilaku hakim. Sehingga, dengan keterlibatan PKY yang ada diberbagai provinsi maka rekam jejak Calon Hakim Agung telah dapat dideteksi secara dini dimanapun para Calon Hakim Agung berkiprah sebelumnya. Hal ini penting untuk menghasilkan para Calon Hakim Agung yang benar-benar berintegritas dan berkualitas.
Terkait dengan kewenangan menjaga etik dan perilaku hakim, Taqwaddin meminta perhatian Komisi Yudisial, bahwa istilah yang digunakan dalam Undang-Undang Dasar kita adalah menjaga, bukan mengawasi. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24B UUD 1945, yaitu Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dari ketentuan ayat (1) Pasal 24B ini jelas terbaca bahwa istilah konstitusi adalah menjaga, bukan mengawasi.
Istilah menjaga memiliki makna yang berbeda dengan mengawasi. Menurut saya, jika istilah mengawasi yang digunakan sebagaimana pada spanduk (standing banner) PKY, maka akan menimbulkan resistensi dan benturan dengan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung. Tetapi jika istilah menjaga hakim yang digunakan, ini dapat dipahami dalam rangka menjaga kemuliaan dan keluhuran hakim sebagai sebagai pejabat negara yang dimuliakan, yang dipersepsi sebagai Wakil Tuhan.
Sebagai Wakil Tuhan maka hakim diberi kewenangan untuk menghukum seseorang berdasarkan bukti kesalahannya, sedangkan dalam perkara keperdataan, hakim berwenang menetapkan hak-hak seseorang atas sesuatu yang dipersengketakan. Semua putusan hakim itu harus dimulai dengan irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka oleh karena itu, dalam persidangan Hakim sering dipanggil “Yang Mulia” atau offium noble.
Karena Hakim sebagai pejabat negara yang dipanggil dengan Yang Mulia, sehingga perilaku hakim harus terpelihara dan tidak boleh tercela. Hemat saya disinilah pentingnya peran Komisi Yudisial dalam menjaga keluhuran dan kemuliaan Hakim agar para Hakim tidak melakukan perbuatan tercela dan disisi lain agar warga masyarakat tidak mencela atau membully hakim manakala kalah dalam berperkara.
Hakim dalam membuat putusan harus benar-benar independensi dengan mengedepankan integritas dan profesionalitas. Hakim harus mencurahkan segala kapasitanya untuk menghasilkan putusan-putusan yang berkualitas. Sehingga, hadirnya Penghubung Komisi Yudisial di Aceh menurut saya tepat dalam rangka menjaga kemuliaan Hakim guna menghasilkan proses peradilan yang lebih berkualitas”, ujar Dr Taqwaddin, yang juga Akademisi senior USK.
Pernyataan di atas dikemukakan Hakim Tinggi Ad Hoc Tipikor dalam Seminar Edukasi Publik yang diselenggarakan oleh Penghubung Komisi Yudisal Aceh di salah satu Cafe di Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar, Kamis 22 Agustus 2024.
Seminar yang dibuka oleh Hasrizal, Kordinator Penghubung Komisi Yudisial Aceh, dihadiri hampir seratusan orang peserta dari berbagai elemen strategis masyarakat menghadirkan pemateri dari unsur Komisi Yudisial, Advokat, Kejaksaan Tinggi Aceh dan Taqwaddin mewakili Pengadilan Tinggi Aceh.