Banda Aceh - Pasca 18 tahun tsunami, aceh masih lemah dalam mitigasi kebencanaan. Hal ini tergambar dalam nilai indek kapasitas ketahanan daerah Aceh yang masih rendah.
“Dana otsus Aceh sudah berakhir, namun indek kapasitas ketahanan daerah belum tercapai sesuai harapan minimal di level kapasitas 4, namun kenyataanya Aceh masih berada di level kapasitas 2”, ungkap kepala pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) yang diwakili oleh Fazli, SKM, M.Kes, selaku kasi pencegahan BPBA. Hal tersebut disampaikan pada seminar yang di adakan oleh TDMRC (24/12/2022).
Makna dari level kapasitas 4 adalah: Dengan dukungan komitmen serta kebijakan yang menyeluruh dalam pengurangan risiko bencana disuatu daerah telah memperoleh capaian-capaian yang berhasil, namun diakui masih ada keterbatasan dalam komitmen, sumberdaya finansial, ataupun kapasitas operasional dalam pelaksanaan upaya pengurangan risiko bencana di daerah tersebut. Dengan total nilai prioritas 70,1-85.
Adapun makna dari level kapasitas 2 adalah: Daerah telah melaksanakan beberapa tindakan Tindakan pengurangan risiko bencana dengan pencapaian-pencapaian yang masih bersifat sporadis yang disebabkan belum adanya komitmen kelembagaan dan/atau kebijakan sitematis. Dengan total nilai prioritas 35,1-55. Aceh berada pada angka 54 untuk total nilai prioritas.
Adapun hal-hal yang dinilai dalam kajian kapasitas daerah dalam menghadapi tsunami ialah: Pertama, Memastikan bahwa pengurangan risiko bencana menjadi sebuah prioritas nasional dan lokal dengan dasar kelembagaan yang kuat untuk pelaksanaannya (total nilai prioritas 67,5; indeks priorotas 3).
Kedua, mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana dan meningkatkan peringatan dini (total nilai prioritas 51,25; indeks prioritas 2).
Ketiga, menggunakan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun suatu budaya keselamatan dan kapasitas disemua tingkat (total nilai prioritas 36,25; indeks priorotas 2).
Keempat, mengurangi faktor-faktor risiko yang mendasar (total nilai prioritas 41,25; indeks priorotas 2). Yang terakhir, memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana demi respon yang efektif disemua tingkat (total nilai prioritas 73,75; indeks priorotas 4).
Fazli juga menambahkan dalam pemaparannya saat seminar dimaksud, “Amanah undang-undang seharusnya anggaran untuk kebencaan adalah 1% (level provinsi), namun pada realitasnya baru tercapai 0,55%”.
Sehingga hal tersebut berefek pada pelaksanaan program yang tidak tercapai, seperti yang dimaksudkan oleh poin penilaian yang ketiga, sehingga total nilai prioritsanya bis akita lihat sangat kecil.
Hal tersebut bisa kita lihat sebagai contoh bahwa program pendidikan kebencanaan disekolah-sekolah belum berjalan secara maksimal untuk program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB), padahal anggaran didinas terkait sangatlah besar.
Namun belum adanya dukungan dan komitemlah yang membuat hal tersebut menjadi terabaikan.
Sebagaimana kita ketahuai disetiap bencana sekolah dan pendidikan sangat berimbas, sebagaimana sudah kita lihat bersama pada saat tsunami Aceh 2024, gempa Gayo 2013, Gempa Pidie 2017 dan yang baru saja terjadi di Cianjur.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. Yunita Idris dari Disaster Tsunami Mitigation Reseach Center TDMRC USK dalam pemaparannya saat seminar tersebut bahwa “Lesson Learned Gempa Cianjur 2022 disebutkan beberapa catatan kesiapsiagaan saat gempa. Yang pertama, harus dilakukan kajian potensi gempa secara microzonasi.
Kedua, Analisis kerentanan tipikal bangunan. Dan yang terakhir ialah perkuat kapasitas tukang lokal, melalui pengetahuan membangun, dengan memanfaatkan material lokal”.
Hal tesebut untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana tutup Yunita.
Kegitana seminar tersebut diadakan dalam rangka memperingati 18 Tahun Tsunami Aceh, dengan Tema “Membangun Kesiapsiagaan Masyararakat pasca 18 tahun Tsunami Melalui Tranfer Pengetahuan Dan Pengalaman Dalam Menghadapi Bencana”.