Banda Aceh – Tim Sembilan lembaga vertikal bidang ekonomi dan pembangunan yang ada di Aceh melakukan pertemuan dengan Wali Nanggroe Aceh Paduka Yang Mulia Tgk. Malik Mahmud Al Haythar pada Selasa, 10 Mei 2022, di Meuligoe Wali Nanggroe, Lampeunereut, Aceh Besar.
Sembilan lembaga vertikal tersebut yaitu, Bank Indonesia Perwakilan Aceh, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Aceh, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Aceh, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Aceh, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Aceh, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Perwakilan Aceh, dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea Cukai Aceh
“Tim Sembilan ini mengadakan pertemuan dengan Wali Nanggroe untuk menyampaikan kendala dan memberi masukan dalam rangka percepatan pembangunan di Aceh di berbagai sektor,” kata Kabag Humas dan Kerjasama Wali Nanggroe, M. Nasir Syamaun, MPA.
M. Nasir juga menjelaskan, Tim Sembilan merupakan forum lembaga vertikal di Aceh yang dibentuk pada 2020 lalu. Tim tersebut dibentuk untuk memudahkan koordinasi dan menyatukan persepsi lintas sektor dalam rangka menunjang upaya percepatan pembangunan Aceh.
Kepada Wali Nanggroe, masing-masing perwakilan lembaga vertikal tersebut menyampaikan berbagai kendala dan solusi percepatan pembangunan Aceh.
“Mereka telah melakukan kajian, mempelejari, dan memberikan pandangan-pandangan, mengapa Aceh selama ini tidak bisa membangun seperti seharusnya,” kata Wali Nanggroe usai pertemuan.
Wali Nanggroe juga menuturkan, selepas pertemuan tersebut, pihaknya akan mengadakan komunikasi lebih lanjut untuk membangun kerjasama antara Tim Sembilan dengan Lembawa Wali Nanggroe.
“Saya akan memperjuangkan dengan cara apapun. Apakah harus ke Pemerintah Pusat, saya akan bawa mereka. Begitu juga apa yang harus saya perjuangkan dengan Pemerintah Aceh agar jalannya pemerintah lebih bagus,” tambah Wali Nanggroe yang didampingi Staf Khusus Dr. M. Raviq dan Dr. Rustam Effendi.
“Masukan-masukan yang disampaikan sangat berguna untuk percepatan pembangunan di Aceh,” kata Dr. M. Raviq.
Masukan-masukan tersebut misalnya seperti apa yang disampaikan Kepala Kanwil Bea Cukai Aceh, Safuadi. Menurutnya, Aceh memiliki banyak komoditas yang bisa dijadikan bahan ekspor.
Namun sayangnya, selama ini ekspor komoditas yang dilakukan berupa raw material atau bahan mentah. Sehingga tidak memberikan nilai tambah terhadap komoditas-komoditas yang diekspor.
“Ini yang harus diubah. Bagaimana bahan baku ini dikemas sehingga menambah nilai tambah,” tegas Safuadi.
Tidak mau tinggal diam, Kanwil Bea Cukai Aceh selama ini telah melakukan pembinaan kepada para pelaku ekspor, mulai dari tingkat Aceh hingga ke pedesaan. Namun persoalannya, tambah Safuadi, jika tidak ditunjang oleh pemerintah setempat, Kanwil Bea Cukai tidak bisa berbuat apa-apa.
“Kami di bea cuka adalah fungsi pembimbingan, fungsi mendorong, peningkatan kapasitas supaya link mereka ke luar negeri bisa jalan,” kata Safuadi.
Ia juga menyinggung tentang iklim investasi di Aceh, dimana menurutnya selama ini para investor enggan untuk melakukan kegiatan investasi di Aceh karena fasilitas investasi belum terpenuhi.
“Ini yang harus diubah. Ini harus disadari oleh semua perangkat satuan kerja di daerah. Bahasa kita pemulia jame, tapi nyatanya kita tidak memuliakan para tamu investor yang datang ke Aceh,” sebut Safuadi.
Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah Direktoran Jenderal Pajak (DJP) Aceh, Imanul Hakim, menyampaikan informasi bahwa RPP Zakat sebagai pengurangan pajak telah sampai ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
“Sudah dikirim ke Kemendagri dari Gubernur Aceh, dan mereka harus ada proses dari Kemeterian Keuangan, dikoordinasi dengan Kumham, itu sudah lintas kementerian,” sebut Imanul.
Sementara itu, Achris Sarwani selaku Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Aceh mengtakan, pihaknya siap mendukung kegiatan perbankan di Aceh, dalam hal ini perbankan Syariah.
“BI mendukung bank daerah kalau disini berati Bank Aceh yang Syariah. Bank Indonesia sebagai otoritas sistem pembayaran, bersama OJK mendukung bagaimana fungsi bank itu semakin lengkap,” kata Achris.
Untuk melengkapi itu, tambah Achris, memang butuh waktu, karena kapasitas teknis Bank Aceh harus menuju ke level yang lebih tinggi. BI akan terus mengawal agar kelengkapan tersebut terealisasi cepat.
Masukan kepada Wali Nanggroe juga disampaikan oleh Kepala OJK Aceh, Yusri. Menurutnya, sejak berlakunya Qanun Lembaga Keuangan Syariah, di Aceh tidak dikenal lagi bank konvensional.
“Sudah murni syariah, lalu pertanyaannya apakah Lembaga Lembaga Keuangan Syariah itu siap untuk mendukung pembangunan di Aceh? Harusnya siap,” kata Yusri.
Dukungan itu misalnya, tambah Yusri, bagaimana perbankan di Aceh mendukung kegiatan ekspor-impor. Caranya adalah dengan menjadikan bank syariah menjadi bank devisa.
Kemudian bagaimana bank-bank yang di Aceh bisa membiayai insfrastruktur perusahaan-perusahaan besar.
“Jadi kita bekerjasama dengan BI, dan semua stakeholder di Aceh, agar Lembaga keuangan di Aceh harus sama kekuatannya dengan bank konvensional yang sudah pergi,” sebut Yusri.