Banda Aceh - Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh mendesak Pemerintah Aceh dan DPR Aceh untuk segera merevisi Qanun Nomor 15 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Mineral dan Batubara untuk memastikan pembagian porsi pengelolaan sumber daya alam (SDA).
“Qanun ini perlu direvisi untuk memastikan pembagian porsi kewenangan bersama antara Pemerintah Aceh dengan kabupaten/kota baik di darat maupun laut sesuai amanat UU Pemerintah Aceh (UUPA),” kata Kadiv Kebijakan Publik GeRAK Aceh, Fernan kepada wartawan, di Banda Aceh, Kamis (24/3/2022).
Hal itu disampaikan Fernan pada diskusi multi stakeholder forum yang bertajuk perbaikan tata kelola pertambangan mineral dan batubara pasca perubahan UU minerba dalam kerangka otonomi khusus Aceh, di Banda Aceh.
Fernan menyampaikan, revisi tersebut penting dilakukan Pemerintah Aceh sebagai upaya memperbaiki tata kelola pertambangan di Aceh.
Kemudian, juga sebagai tindak lanjut kembali upaya penertiban Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah dilakukan saat pemberlakuan moratorium izin tambang pada 2014 hingga 2018 lalu hingga akhirnya pemerintah mengakhiri 98 IUP dengan total luas lahan 549.619,21 hektare.
“Pemerintah Aceh juga perlu mempertimbangkan kembali kelanjutan moratorium izin tambang untuk melakukan evaluasi faktual terhadap seluruh IUP yang berada di wilayah Aceh,” ujarnya.
Fernan menyebutkan, saat ini masih tersisa sebanyak 28 IUP Perusahaan Modal Dalam Negeri (PMDN) di Aceh dengan luas mencapai 43.038 hektare. Kemudian lima perusahaan diantaranya berstatus Kontrak Karya (KK) dan IUP Perusahaan Modal Asing (PMA) dengan luas mencapai 105.418 hektare.
Menurut Fernan, upaya perbaikan tata kelola pertambangan harus terus dilakukan untuk memastikan akuntabilitas sosial berjalan sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Hal ini penting, agar Aceh tidak terjerumus dalam kutukan sumber daya alam (natural resource curse).
“Pemerintah Aceh dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) secara bersama harus mengevaluasi terhadap IUP dalam kawasan hutan. Serta mendesak pemilik IUP bertanggungjawab terhadap praktek pertambangan ilegal dan ilegal logging yang terjadi,” katanya.
Dalam kesempatan ini, Pemerintah Aceh juga harus mendesak otoritas pertambangan dan perusahaan tambang segera menindaklanjuti pelaksanaan reklamasi tambang sesuai perundang-undangan yang berlaku.
“Karena itu kebijakan baru untuk penguatan akuntabilitas sosial pertambangan di Aceh perlu diperkuat dengan sistem yang dapat mengakomodir penyelesaian pengaduan sektor pertambangan,” demikian Fernan. []