Banda Aceh — Baitul Mal Aceh (BMA) dalam merencanakan dan melaksanakan program wakaf akan memprioritaskan pembiayaan sertifikasi atau penyelamatan harta wakaf, pengawasan terhadap nazir dan melakukan pembinaan terhadap pengelolaan harta wakaf. Demikian kata Mohammad Haikal ST MIFP dalam Pelatihan Nazir Secara Virtual Seri I, Kamis, (8/7/2021).
Pelatihan yang diselenggarakan oleh BMA itu diikuti 396 nazir dan peminat wakaf, berlangsung melalui aplikasi zoom, menghadirkan dua narasumber lainnya, Direktur Keuangan Sosial KNEKS Dr Ahmad Juwaini dan Direktur Social Trust Fund UIN Syarif Hidayatullah Prof Dr Amelia Fauzia MA.
Haikal mengatakan, pihaknya memprioritaskan pengembangan dan peningkatan manfaat harta wakaf, pembentukan lembaga keuangan mikro syariah untuk memberdayakan wakaf, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia nazir wakaf. “Sesuai ketentuan Qanun 10 tahun 2018 tentang Baitul Mal, kita juga akan fasilitasi proses sertifikasi tanah wakaf dan penerbitan sertifikat harta wakaf,” katanya.
“BMA ingin menjadikan aset wakaf bisa dikelola mandiri dan akan kita dukung melalui program stimulus pengembangan wakaf produktif,” katanya. Untuk ini diperlukan kemitraan yang baik antara nazir dengan BMA, serta sinergisitas antar pemangku kepentingan seperti Kemenag, BWI dan pemerintah kabupaten/kota.
Dia menyebutkan tantangan pengelolaan wakaf di Aceh adalah belum sinkronnya regulasi pengelolaan wakaf sesuai dengan UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pasal 191, yang memberi kewenangan Baitul Mal sebagai pengelola wakaf. “Demikian juga kita masih menghadapi tantangan lain misalnya pemahaman tentang wakaf berjangka, wakaf uang, standarisasi nazir dan tindak lanjut gerakan wakaf uang,” tambah Haikal.
Dia melihat peluang pengembangan wakaf produktif terbuka lebar di Aceh. Hal ini dapat dipetakan dari tersedianya regulasi wakaf dalam bentuk UU Wakaf, Qanun Aceh dan dalam waktu dekat akan disahkan peraturan gubernur tentang wakaf. Masyarakat Aceh memiliki pemahaman yang baik tentang wakaf dan bahkan telah mempraktikkannya. “Kita yakin sebagian besar wakaf yang ada dapat diproduktifkan dan ini kita kembangkan dengan wakaf uang,” katanya.
Menurut Haikal, sudah waktunya masyarakat Aceh mengoptimalkan pengembangan islamic social finance (keuangan sosial Islam) lebih serius lagi. Apabila selama ini Aceh dianggap sukses mengelola zakat dan infak, maka berikutnya adalah memproduktifkan wakaf dan menggerakkan wakaf uang. Dengan instrumen ini Aceh akan lebih adil dan sejahtera.
“Kita mengakui adanya ekspektasi masyarakat terkait pengelolaan wakaf. Masyarakat punya harapan yang sangat besar dan kita berusaha melakukan yang lebih baik lagi. Kita membutuhkan dukungan masyarakat, agar dana masyarakat bisa dikelola dengan baik,” katanya. Kemudian, tambahnya, terkait pengembangan sektor riil berbasis wakaf masih memerlukan pendataan dan pemetaan potensi wakaf yang ada, sehingga dapat diklasifikasi dan melakukan perencanaan yang baik.
Menurut dia, Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2028, telah mengatur tiga level kelembagaan amil dan nazir di Aceh yaitu BMA, Baitul Mal Kabupaten/Kota (BMK) dan Baitul Mal Gampong (BMG). Masing-masing akan menjalankan fungsinya dalam pengelolaan dan pengembangan zakat, infak, wakaf dan pengawasan perwalian. Yang penting dilakukan terlebih dahulu oleh nazir adalah pendataan wakaf, perlindungan aset, menyelesaikan masalah wakaf dalam sengketa dan memproduktifkan wakaf yang memiliki sertifikat.
“Fungsi BMA tidak hanya melakukan pemberdayaan nazir, tapi juga akan masuk ke area sertifikasi aset wakaf,” kata Haikal. Untuk itu, diperlukan sinergi dan menghilangkan sumbatan-sumbatan dalam pengelolaan wakaf, meningkatkan human resource, dan membangun kesadaran masyarakat bahwa harta wakaf adalah milik bersama.(Red)