Banda Aceh - Baru-baru ini Dinas PUPR Kota Banda Aceh kembali berencana melanjutkan pembangunan IPAL di Gampong Pande pasca sebelumnya dihentikan karena ternyata di tempat tersebut ditemukan batu nisan dari makam para bangsawan maupun ulama di masa kesultanan Aceh Darussalam.
Terkait rencana tersebut salah seorang anggota DPRK Banda Aceh Tuanku Muhammad menyebutkan bahwa memang pembangunan IPAL di Kota Banda Aceh memiliki manfaat besar bagi masyarakat secara umum terutama terkait sanitasi, namun penempatan lokasi pembangunan IPAL saat ini akan memberikan berbagai dampak buruk, antara lain:
1. Mengakibatkan rusaknya lansekap peninggalan sejarah di kawasan muara Krueng Aceh dan bahkan akan tambah membenamkan dan menghilangkan bukti-bukti permukiman kuno dari zaman Aceh Darussalam. Dan dalam hal ini perlu dicatat bahwa kerusakan dan kehilangan peninggalan sejarah adalah sesuatu yang tidak akan pernah dapat digantikan untuk selamanya.
2. Mengakibatkan kawasan serta gampong-gampong yang memiliki potensi kesejarahan dan alam sebagaimana telah diuraikan di atas sebagai kawasan kumuh dan lingkungan pinggiran (kampong belakang) dari Kota Banda Aceh.
3. Secara pasti memberi kesan buruk bagi Krueng Aceh dan kawasan muaranya yang memiliki nilai sejarah yang penting dan sumber kebanggaan masyarakat Aceh.
4. Ikut merusak lingkungan muara sungai dan pantai yang diharamkan dalam Syari'at Islam, sekaligus memeberikan contoh buruk dalam memperlakukan lingkungan sungai dan pantai bagi masyarakat, terutama generasi masa muda.
5. Hilangnya kesempatan untuk memanfaatkan kawasan itu sebagai salah satu destinasi pariwisata edukasi dan sejarah yang penting di Kota Banda Aceh.
Dari berbagai pandangan yang telah dikemukakan di atas, Tuanku Muhammad yang juga merupakan keturunan dari para Sultan Aceh Darussalam berkesimpulan bahwa
pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Gampong Pande adalah sebuah kebijakan yang ahistoris serta berseberangan dengan nilai-nilai yang dianjurkan dalam Syari'at Islam menyangkut pemeliharaan sungai dan areal tepi sungai (harim an-nahr); bertentangan dengan maksud dan tujuan Undang-undang pelestarian cagar budaya yang berlaku di Republik Indonesia; tidak mengindahkan hal-hal yang memiliki nilai penting dalam sejarah dan budaya masyarakat Aceh; mengabaikan nilai-nilai keindahan serta tradisi "meusaneut" dan "beu-muslihat" dalam etika kehidupan masyarakat Aceh yang Islami.
Akhirnya Tuanku merekomendasikan kepada Pemerintah Kota Banda Aceh untuk tidak lagi melanjutkan proyek pembangunan IPAL atau untuk dapat mencari lokasi baru untuk memindahkan dan merelokasi IPAL ke tempat lain dengan terlebih dahulu melakukan kajian-kajian yang saksama dalam berbagai aspek yang perlu diperhitungkan sehingga kesalahan semisal ini tidak terulang lagi di masa mendatang.
Kemudian untuk langkah yang lebih luas lagi untuk menormalisasi lokasi tersebut sedapat mungkin kepada keadaan semula dan merancang penataan ulang wilayah Kecamatan Kutaraja secara umum, dan gampong-gampong di kawasan pesisirnya berbasis pada konsep kawasan peninggalan sejarah Aceh Darussalam demi peningkatan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut guna menjadikan kawasan itu sebagai pusat kawasan pengembangan ilmu pengetahuan sejarah yang untuk selanjutnya menjadi destinasi wisata sejarah Aceh Darussalam yang dilengkapi dengan berbagai sarana yang dibutuhkan.
Kelak tempat tersebut akan menjadi salah satu kawasan perlindungan warisan sejarah umat manusia oleh lembaga internasional.
Seharusnya kita harus menjadi generasi yang bercontoh kepada bangsa Turki yang mencari hingga jauh dan menjaga kuburan para indatunya seperti di Gampong Bitay. Bahkan Belanda sendiri sangat menjaga kuburan bangsanya seperti di komplek pemakaman kerkhoff peutcut belakang Museum Tsunami. Tapi kenapa kita malah ingin menghancurkan kuburan Indatu sendiri dengan menjadikan komplek pembuangan sampah dan limbah.(Red)