Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Pandemi Covid-19 dan Budaya Masyarakat Aceh

Rabu, 01 Juli 2020 | 21.44 WIB Last Updated 2020-07-01T14:46:52Z

Oleh :
Septian Fatianda, S. Hum.
Alumnus Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry & Siswa Sekolah Kita Menulis.


Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) semakin hari semakin parah dan sangat mengkhawatirkan. Tercatat hingga tanggal 30 Juni 2020 menurut data yang dikeluarkan Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 bahwa sudah ada 55.092 orang positif terjangkit virus ini dengan 23.800 dinyatakan sembuh dan 2.805 diantaranya telah meninggal dunia. 

Begitupun dengan Aceh Provinsi paling barat Indonesia, kasus positif virus ini telah mencapai 79 orang dengan rincian 25 orang sembuh, 52 masih dirawat dan 2 orang telah meninggal dunia. Dari data tersebut sangat jelas bahwa virus ini adalah virus yang cukup mematikan sehingga telah mengakibatkan kondisi menjadi carut marut terutama pada sektor kesehatan, sosial budaya, dan ekonomi.

Ada hal yang cukup menarik jika kita melihat bagaimana respon masyarakat Aceh dalam menghadapi Pandemi global ini. Masyarakat Aceh terkesan santai dan “tidak mau ambil pusing” dengan banyaknya pemberitaan mengenai bahaya pandemi covid-19, aktivitas masyarakat masih berjalan seperti biasa bahkan kebiasaan nongkrong di warung kopi pun masih tetap saja berlanjut.  

Melihat respon masyarakat yang “sedikit bandel” ini dikalangan masyarakat Aceh sampai muncul seruan yang sempat viral dengan kata-kata nyentrik dalam bahasa Aceh seperti bek tungang, bek bateu, bek batat. 

Oleh sebab itu Pemerintah Aceh dengan segera menerapkan beberapa kebijakan mulai dari instruksi untuk tetap dirumah saja, menghindari keramaian, memakai masker hingga pemberlakuan jam malam berupa pelarangan segala bentuk aktivitas dimalam hari yang bertujuan untuk menertibkan masyarakat agar penularan COVID-19 tidak semakin meluas. Namun tetap saja kebijakan-kebijakan tersebut tidak efektif dalam praktek pelaksanaannya. 

Dalam usaha untuk melawan penyebaran virus ini selain tetap mengikuti protokol kesehatan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Masyarakat Aceh memiliki cara tersendiri dalam menghadapi ancaman pandemi COVID-19 yang mereka dapatkan dari khazanah kebudayaan berupa kisah dan pengalaman para nenek moyang mereka terdahulu. 

Apabila kita melihat dari sejarah panjang bangsa Aceh dijelaskan bahwa masyarakat Aceh telah lama dan cukup familiar dalam menghadapi wabah penyakit yang mematikan dan juga menular seperti pandemi COVID-19 ini. Mereka mengenalnya dengan istilah “tha’eun”, istilah ini sendiri diambil dari kata serapan bahasa Arab “at-tha’un” yang berarti wabah penyakit. wabah penyakit ini memiliki gejala seperti demam dengan suhu tubuh tinggi, flu, batuk, sesak napas, muntah-muntah, dan sakit-sakit diseluruh tubuh. 

Masyarakat Aceh memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap kuasa Tuhan sehingga mereka beranggapan segala penyakit pasti ada obatnya kecuali kematian. Diyakini juga bahwa setiap penyakit berasal dari Tuhan dan dengan memperbanyak ibadah dan doa diyakini penyakit tersebut akan segera diangkat serta dijauhkan dari kita hambanya. 

Berbagai usaha penyembuhan dari penyakit berupa pandemi virus juga telah dipraktekkan oleh masyarakat Aceh pada zaman dahulu dan telah ditulis dalam manuskrip-manuskrip kuno seperti pada naskah Mujarhabat yang berisikan tentang pengobatan-pengobatan tradisional. 

Pada naskah manuskrip tersebut disebutkan bahwa jika ada virus yang sudah masuk ke dalam tubuh seorang manusia cara penyembuhannya adalah dengan menyiapkan dua ruas bawang putih dan 5 sendok makan madu hutan, caranya adalah bawang putih tersebut digiling hingga menjadi halus lalu dicampurkan dengan madu dan diminum setiap harinya per satu sendok teh. 

Dalam catatan sejarah dalam buku The Achehnese yang ditulis oleh Snouck Hurgronje dan kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indoensia menjadi buku “Aceh di Mata Kolonial”, disebutkan bahwa dalam tradisi masyarakat Aceh pada zaman dahulu untuk menjaga sistem kekebalan tubuh dan mencegah penularan virus Tha’eun adalah dengan menyeburkan diri kedalam air laut karena air laut diyakini dapat menghilang virus dan berbagai penyakit lainnya. 

Pada sebagian masyarakat Aceh juga terdapat tradisi unik untuk mengusir penyebaan wabah virus corona ini yaitu tradisi “Meujalateh” yang merupakan ritual yang dilakukan masyarakat berupa pawai mengelilingi kampung sambil membacakan nazam isim “Ya Latif”. 

Selain itu sambil melakukan pawai secara bersama-sama, setiap masyarakat membawa satu tongkat yang terbuat dari pohon bambu yang telah diisi dengan sejumlah batu kerikil dan dibagian atas tongkat dipasangkan serat ijuk pohon aren. Suara nazam ya latif dan hentakan tongkat ini diyakini bisa untuk mengusir wabah dan setan yang mengganggu kampung tersebut. Tradisi meujalateh ini bisa dan banyak kita jumpai di daerah pesisir Barat-selatan Aceh.

Tradisi serupa juga banyak dilakukan oleh masyakat Aceh khususnya pada akhir bulan safar atau “Rabu Habeh” dengan ritual keliling kampung pada malam hari menggunakan Suwa atau obor sambil membaca doa-doa tertentu agar dijauhkan dari seluruh wabah penyakit termasuk pandemi COVID-19. 

Selanjutnya pada masyarakat Aceh juga terdapat tradisi yasinan dan samadiah secara berjama’ah yang dilakukan setelah pelaksaan shalat magrib di Masjid atapun Meunasah di kampung masing-masing. Beberapa tradisi tersebut masih dipraktekkan oleh masyarakat Aceh hingga sekarang dan digunakan sebagai salah satu rujukan atau acuan dalam usaha untuk memerangi serta menjauhkan diri dari ancaman penularan pandemi COVID-19 yang telah sangat meresahkan ini.  

Berkaca dari sejarah berupa khazanah kebudayaan para nenek moyang kita dahulu dalam menghadapi wabah tha’eun ini, kita semua seharusnya bisa belajar dan mengambil hikmah dari tradisi terdahulu. Adalah bahwa untuk memutus mata rantai penyebaran pandemi virus corona pertama kita harus selalu senantiasa mendekatkan diri pada Sang Pencipta dengan beribadah seraya berdoa memohon kepada-Nya agar dijauhkan dari pandemi ini. Kemudian bagi kita masyarakat dituntut untuk selalu menjaga kesehatan tubuh serta apabila sakit bisa mencoba melakukan pengobatan dengan cara-cara yang telah diuraikan diatas dan tetap yang terpenting selalu mengikuti protokol kesehatan. 

Selanjutnya juga sangat diperlukan kerjasama yang baik antara pemerintah Aceh dan masyarakat, karena dari pengalaman dan sejarah masa lalu dapat kita cermati bahwa masyarakat Aceh merupakan masyarakat yang solid dan patuh terhadap pemimpin mereka yang amat jujur dan amanah yaitu para ulama dan Raja/ratu,  kesolidan ini terlihat ketika daerah mereka terserang wabah maka semua kalangan saling bekerja sama untuk menghadapinya. 

Hal ini seharusnya menjadi acuan bagi Pemerintah Aceh dan masyarakat masa sekarang untuk saling bahu-membahu dalam menghadapi serangan pandemi ini. Pemerintah dituntut agar selalu jujur dan amanah dalam mengeluarkan setiap kebijakan agar berdampak positif bagi masyarakat serta harus menjamin kehidupan masyakarakat tetap membaik selama masa masa Pandemi. Begitu pula bagi kita masyarakat harus bisa patuh dengan menjaga diri sendiri agar penularan pandemi COVID-19 bisa segera berhenti dan kembali menikmati kehidupan tanpa pandemi.

News

Kabar Aceh

×
Berita Terbaru Update