Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Leddy Avista Lestari Harapkan Peran Nyata Generasi Milenial Kluet Raya Dalam Penulisan WBTB

Rabu, 01 Juli 2020 | 21.34 WIB Last Updated 2020-07-01T14:37:47Z

Aceh Selatan - Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Wilayah Aceh – Sumut telah sukses menyelenggarakan workshop virtual dalam rangka inventarisasi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) untuk etnis Kluet Raya, Rabu (1/6/2020) pagi.

Workshop yang melibatkan 20 peserta aktif tersebut terdiri atas para budayawan, sastrawan, birokrat, awak dinas kebudayaan, dan akademisi. Dalam workshop virtual ini, BPNB juga tidak luput dengan mengundang para penggiat budaya yang berasal dari kaum milenial etnis Kluet Raya.

Dalam kegiatan diskusi online tersebut, kepada jurnalis media ini disampaikan Via WA, Leddy Avista Lestari, mewakili dari Forum Aceh Menulis (FAMe) juga diberikan kesempatan untuk berdiskusi dan memberikan masukan yang kreatif guna mengusulkan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Kluet Raya yang telah difasilitasi oleh pihak BPNB Aceh-Sumut.

Beberapa sahabat Penulis yang diundang juga berasal dari awak milenial Kluet Raya. Diantaranya Riri Isthafa Najmi dari FAMe, M. Ridho Agung dan Ramadhan mewakili dari FUAS. Sedangkan Muzakkir To, Muhyi Aksari Salaf, Rahman Mahlil, dan Mauliddun berasal dari unsur Budayawan Milenial Kluet Raya.

Leddy Avista Lestari sangat mengapresiasi dan mendukung upaya dan program nasional penetapan Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTB) yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) meskipun melalui virtual.

Penggiat pendidikan, sosial, dan budaya ini sangat yakin setelah mendapatkan ilmu dan wawasan dari hasil diskusi dan tukar gagasan via virtual tersebut.

Menurut Laddy, dirinya dapat mengikhtisarkan atau meringkaskan bahwa pelestarian terkait Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) yang berasal dari Kluet Raya juga merupakan kekayaan, khazanah, dan bentuk warisan kebudayaan dari nenek moyang dan leluhur tempo dulu.

“Adapun diantaranya berupa keindahan seni, baik itu keindahan seni musik, tarian, benda-benda, bahasa maupun kuliner,” terang Leddy.

Dibalik itu, lanjut Leddy, seringkali juga kita melihat para pelaku dari budaya tersebut (budayawan-red) di daerah, rata rata para penggiatnya adalah orang tua yang memang mengenal budaya tersebut sejak kecil.

Jarang sekali untuk saat ini ada anak muda yang dengan bangga dan dengan rajinnya untuk mempelajari dan melestarikan budaya lokal di daerahnya sendiri. “Tentunya hal ini menjadi sesuatu yang membuat kita selaku putera daerah menjadi pesimis, miris dan khawatir,” ujar mahasiswi alumnus pasca sarjana Malang ini.

Jika hal tersebut terus menerus terjadi, masih kata Laddy, budaya lokal dengan kategori WBTB ini, hanya tinggal dalam kenangan sejarah, sekedar goresan tulisan yang bersifat nostalgia, maupun tontonan dari masa lalu saja. “Tidak bisa dinikmati keindahannya secara langsung dan dipraktikkan oleh generasi selanjutnya,” katanya.

“Tentu kita semua tak ingin hal ini bisa terjadi”, imbuh Leddy. Sebab itu, remaja dan peran awak milenial terhadap dunia pendidikan berbudaya dan literatur kebudayaan wajib diajarkan sejak sedini mungkin agar penguatan dan pemberdayaan kebudayaan untuk generasi selanjutnya tetap terstruktur dan terukur. Misalnya, dengan lebih memperbanyak pelajaran mengenai budaya dan muatan lokal di tiap jenjang pendidikan sekolah di setiap daerah.

Leddy mengaku memang ada beberapa para generasi milenial yang rajin untuk menggeluti dan melestarikan budaya lokal di daerahnya. Tentunya apa yang mereka lakukan tersebut harus mendapat dukungan dan apresiasi oleh semua pihak, baik dari Pemerintah Daerah maupun oleh masyarakat lokal sekitar. Sehingga tidak berhenti begitu saja atau menjadi usaha yang melemah dari setiap individu penggiat budaya. Bukan dari peran kolaboratif yang diciptakan oleh ekosistem tatanan masyarakat itu sendiri.

Menurut Leddy, sebagai catatan akhir dari Peran dan Partisipasi Generasi Milenial dalam keterlibatan di semua aspek terhadap inventarisasi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) untuk etnis Kluet Raya, yaitu:

1. Tingkatkan Kompetensi Budaya etnis Kluet Raya.
2. Aktifkan kembali Kegiatan dan Event Budaya etnis Kluet Raya Setiap Tahun.
3. Mencegah agar WBTB Kluet Raya tidak diakui oleh daerah lainnya.
4. Mengenal dan Membanggakan WBTB etnis Kluet Raya yang dahulunya tersohor.
5. Menerapkan Budaya WBTB etnis Kluet Raya dalam Pergaulan dan citra baiknya sehari-hari.
6. Menggerakkan Pemerintah Daerah untuk Mematenkan WBTB etnis Kluet Raya yang berkemajuan.
7. Menjadikan Budaya etnis Kluet Raya sebagai Prioritas dan promosi WBTBnya sebagai tujuan.
8. Keterlibatan partisipasi dan kolaborasi antara Pemerintah dan Masyarakat Kluet Raya dalam merawat dan melestarikan WBTB etnis Kluet Raya.

Leddy Avista berharap, semoga yang terlutis diatas menjadi wawasan bermanfaat dan dapat diterapkan dalam masyarakat berbudaya kita keseharian.

Masih menurut Leddy Avista, sebagai masyarakat dan etnis Kluet Raya yang memilik budaya, jangan lupa untuk mencintai dan melestarikan budaya kita untuk generasi selanjutnya. “Agar anak cucu kita nanti masih bisa menikmati dan menerapkannya WBTB etnis Kluet Raya secara langsung,” katanya lagi.

“Sehingga WBTB etnis Kluet Raya tetap memiliki ciri khas dan khazanah berbudaya serta masih memiliki jati dirinya untuk dapat dilestarikan dan dikembangkan untuk lebih baik ke depan. Juga dibutuhkan kerjasama yang baik sesama masyarakat berbudaya etnis Kluet Raya,” demikian tutup Leddy Avista Lestari.

News

Kabar Aceh

×
Berita Terbaru Update