Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Konflik Aceh dalam Bilangan, Memori Rindu Ayah dalam Ingatan

Kamis, 25 Juni 2020 | 20.26 WIB Last Updated 2020-06-25T13:46:21Z
Oleh Leddy Avista Lestari, M.Pd (Penggiat Pendidikan, Sosial, dan Budaya di Aceh).


Aceh Selatan - Konflik panjang berakhir di Aceh. Pertikaian panjang selama 30 tahun akhirnya redam. Setelah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia sepakat untuk menyatakan sikap damai di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005 silam. Dikenal dengan histori, "Memorandum of Understanding," dikenal dengan (MoU) Helsinki.
 
Memperingati 15 tahun damai Aceh, sepanjang Juni 2020 saat ini. Berkisah tentang korban, penyintas, dan kenangan duka para pihak bertikai, yaitu antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia. Bukan untuk mengungkit luka lama. Tapi untuk belajar agar perang dan konflik yang berkepanjangan tak terulang lagi untuk generasi selanjutnya.

Hari ini, tanggal 26 Juni 2020, tepatnya 20 tahun plus 9 bulan silam. Ayah hilang dan tidak diketahui keberadaannya. Tragedi 11 September 1999, persisinya terjadi peristiwa sweeping masal, di Desa Ujung Batu, Kecamatan Pasie Raja, Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh.

Hingga sekarang, kain panjang yang telah disediakan Ibu masih terlipat rapi. menunggu kepulangan Ayah yang kabarnya sudah tiada dan pergi untuk selamanya. Para pelaku benar-benar kejam dan tak beradab. Jangankan untuk mengembalikan jasad ayah kepada keluarga. Jejak lokasi jasadnya yang telah tiadapun, enggan untuk mereka berikan petunjuk kepada kami.

Memang, menulis kisah ini, membuat memori saya terkenang dan tergenang dengan cucuran air mata. Ibu yang tempatku menggantungkan hidup dan harapan hingga sekarang, tiada henti-hentinya menangis saat warga Kota Fajar, Kecamatan Kluet Utara, memenuhi rumah kami dengan harapan agar menghibur Ibu, beserta keluarga atas kabar duka menimpa ayah.

Jelas saja, saya tidak mengerti saat itu. Karena pada saat kejadian, saya masih berumur 4 tahun. Kejadian ini sangat membekas di hati Ibu. Dengan pekerjaan Ibu sebagai Ibu rumah tangga. Beliau menjadi tulang punggung dan memiliki tanggungan 5 orang putri yang masih kecil.


Pekerjaan dan Keseharian Ayah.
Keseharian Ayah bekerja di Unit Management Lauser (UML) pada tahun 1997. Beliau menjabat sebagai asisten lapangan di stasiun Penelitian Suaq Belimbing untuk Survei Pengenalan Vegetasi. Sebelum bergabung dengan UML, Ayah bekerja dengan Wildlife Conservation Society di Stasiun Penelitian Suaq Belimbing di bawah pengawasan Prof. Carel van Schaik dari Duke University, USA untuk  penelitian orang hutan.

Ayah  bergabung dalam kelompok penelitian tersebut selama 4 tahun (1991-1995). Sebelumnya, Ayah juga membantu kelompok penelitian dari Utreeht University di Stasiun penelitian Ketambe (1980-1990). Sosok Ayah, setahu kami, tidak pernah berhubungan dengan politik apapun dan tidak pernah memiliki musuh.

Keseharian Ayah hanya bergelut dengan penelitian dan keluarga. Hal ini juga diperjelas di surat kabar Newspaper: Waspada, tanggal 20 dan 25 September 1999, dengan judul Permohonan dan Seruan untuk Pembebasan Korban yang Tidak Bersalah.

Tanggal 11 september 1999, Ayah sebagai pemandu penelitian, 3 peneliti CIFOR (Center for International Forestry Research) dan seorang pengemudi UML dengan detail pemandu Idrusman, 48 (UML), Budiawan Dwi Prasetyo, 34 (CIFOR), Atim Gumelar, 24 (CIFOR), Hardian, 23 (CIFOR), dan pengemudi Supardi, 43 (UML), diculik sekelompok orang tak dikenal. Kejadian berlangsung sekitar pukul 19.00-23.00 malam di daerah Barat Daya Aceh.

Ayah dan ke 4 teman-temannya melakukan perjalanan dari Tapaktuan menuju Medan. Dengan sebuah kendaraan mobil kijang dan dihentikan di jalan di daerah Ujung Batu yang sengaja diberi penghalang. Pengemudi kendaraaan Supardi, berhasil lolos dari sergapan dan selanjutnya melaporkan pada polisi setempat bahwa mereka sempat dibawa menuju sebuah rumah dan digiring dengan tangan terikat ke dalam sebuah Daihatsu 4WD menuju sebuah lapangan terbang dekat Teupin Gajah.

Pada saat melintasi daerah yang terbuka, Supardi berhasil menyelamatkan diri menuju laut. Menurut penuturan Supardi, dia terdampar ke tepi pantai dekat Bakongan pada hari Minggu (12/9) sore. Mereka mencari pertolongan penduduk setempat. Yang kemudian membawanya menuju pos polisi di Tapaktuan. Polisi bersama Supardi kembali menuju Ujung Batu. Tetapi tidak menemukan tanda-tanda atau jejak para staf peneliti.

Menurut berita dari polisi Tapaktuan, yang diterima pada 16 september 1999. Kendaraan Kijang milik UML telah ditemukan dalam kondisi terbakar di Ujung Batu. (Sumber: Press Clipping, Newspaper: Waspada 20/9 1999).

Rentetan kronologi kejadian tersebut sangat terpatri diingatan Ibu, kakak-kakak, dan saya sebagai keluarga korban. Karena kejadian tersebut, Ibu hingga detik ini masih membenci lokasi kejadian dan masyarakat di sekitar lokasi.

Selain itu, saya sebagai anak ayah paling bungsu, sangat membenci mereka para pembunuh atau para penculik, yang telah berhasil membuat saya berkembang pincang pada masa silam tanpa kasih sayang Ayah.

Mereka juga telah berhasil membuat Ibu sangat menderita mencari nafkah untuk membesarkan kami. Yang paling pelik adalah mereka menghancurkan kebahagiaan, merusak psikis dan menghancurkan masa depan kami.

Jika saya boleh berpendapat, sebagai individu masyarakat, pengamat, dan bukan sebagai korban, kejadian memilukan ini seharusnya mereka para pelaku, telah melakukan pelangaran HAM berat, jelas, dan tak berperi kemanusiaan.

Dimana mereka telah menghilangkan nyawa kepala keluarga sekaligus tulang punggung keluarga yang telah merusak jalinan kasih sayang, baik antara Suami-Istri, maupun manjaan seorang ayah kepada anak-anaknya.
 
Harapan saya kepada pemerintah Aceh khususnya dan Pemerintah Indonesia pada umumnya, agar membantu menemukan pusara dimana keberadaan Ayah. Supaya kamipun terarah untuk melangkah. Kemana kami harus melangkah di hari baik dan bulan baik untuk mengunjungi rumah abadi Ayah dan kami berikan doa terbaik untuk pahala syahid beliau. 

Sebagai catatan kecil untuk seluruh para pelaku kejahatan pelanggaran HAM di Aceh. Saya percaya hukuman Allah sangat dasyat, pedih, dan tiada ampun. Saya juga meyakini Allah Swt adalah Maha Melihat dan Maha Mendengar.

Kebaikan yang kita tunjukkan, akan membuahkan kebaikan lainnya. Demikian pula sebaliknya, setiap kejahatan, tindakan kriminal dan asusila yang kita perbuat, juga akan mendapatkan ganjaran yang setimpal.
Allahummaghfirlahum untuk Ayahnda tercinta, Alm. Idrusman.

Malang, 26/06/2020.

News

Kabar Aceh

×
Berita Terbaru Update