wartanasional.co, Banda Aceh - Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) menggelar diskusi tematik tentang konflik satwa gajah dengan manusia menghadirkan berbagai pemangku kepentingan. Diskusi bertemakan “Gajah Sumatera Nasibmu Kini” digelar di Warkop Chek Yukee, Banda Aceh, Kamis (16/1/2020).
Acara tersebut dihadiri kepala Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arianto, Kapolres Aceh Jaya yang diwalikili oleh Kasat Reskrim Aceh Jaya Iptu Bima Nugraha Putra, Asosiasi Keuchiek Teunom, Aceh Jaya, akademisi dan sejumlah elemen lainnya.
Diskusi ini digelar guna menyikapi ditemukan tulang-belulang 5 ekor gajah di Gampong Peuriya, Kecamatan Pasie Raya, Kabupaten Aceh 1 Januari 2020 lalu. Bangkai gajah itu ditemukan dalam kebun sawit milik warga. Gajah diduga mati akibat tersengat arus listri, karena di lokasi ditemukan kabel listrik terpasang setinggi 1,5 meter.
Kasat Reskrim Polres Aceh Jaya, Iptu Bima Nugraha Putra mengatakan, berdasarkan hasil olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) ditemukan enam titik penemuan bangkai gajah. Di lokasi itu ditemukan ada 4 ekor kerangka kepala gajah yang bisa diidentifikasi berjenis kelamin 2 betina dan 2 jantan.
“Sedangkan satu ekor lagi tak dapat diperkirakan, karena tinggal tulang belulang,” kata Iptu Bima Nugraha Putra.
Kata Bima, di lokasi ditemukan kawat yang memiliki arus listrik setinggi 1,5 meter. Diperkirakan kawat listrik itu sengaja dipasang untuk gajah, bukan untuk satwa lainnya.
Proses pengungkapan kasus kematian gajah ini, sebutnya, penyidik sudah memeriksa sejumlah saksi. Seperti pemilik lahan, kepala desa, warga dan sejumlah saksi lainnya.
“Sedangkan tersangka belum ada sekarang, masih dalam proses penyelidikan,” ungkapnya.
Kepala BKSDA Aceh, Agus Arianto menjelaskan, konflik satwa gajah dengan manusia tidak terlepas habitatnya sudah terganggu. Habitat gajah semakin berkurang dan telah terfragmentasi dan 85 persen populasinya berada di luar Kawasan konservasi, bahkan sudah berada di luar Kawasan hutan.
“Konflik satwa tidak terlepas habitat sudah terganggu,” kata Agus.
Berdasarkan data BKSDA Aceh, konflik gajah di Aceh lima tahun terakhir mengalami peningkatan. Pada 2015 lalu 39 kali konflik naik pada 2016 menjadi 44 kali. Terus terjadi peningkatan pada 2017 menjadi 103 kasus, meskipun terjadi penurunan pada 2018 hanya 73 kasus. Tetapi kembali meningkat pada 2017 sebanyak 107 kasus.
“Konflik satwa semakin meningkat selama 5 tahun terakhir. Meningkat ini juga ditambah tidak ada strategi khusus penanganan konflik,” ungkap Agus.
Sedangkan data kematian gajah dari 2016 hingga 2020 ada 38 gajah mati. Penyebab kematian gajah 74 persen karena konflik, 14 persen perburuan dan 12 persen mati alami.
“Harapan saya kedepan dapat kita sosialisasikan agar dapat meminimalisir konflik gajah,” jelasnya.
Sementara itu Kabid Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh, Muhammad Daud menjelaskan, tidak benar ada pembiaran terhadap perlindungan satwa liar di Aceh. Pemerintah bahkan sudah membuat sejumlah regulasi, termasuk qanun Pengelolaan Satwa Liar yang masih menunggu penomoran dari Kemendagri.
“Tidak benar ada pembiaran, pemerintah sudah membuat sejumlah regulasi,” jelasnya.
Kata Daud, pemerintah sangat berkomitmen untuk terus menjaga hutan seluas 3,5 juta hektar. Dengan menjaga hutan, bisa mencegah terjadinya konflik satwa dilindungi di Aceh.
Koordinator FJL Aceh, Afifuddin berharapkan, seluruh pemangku kepentingan dapat terlibat mencegah konflik satwa. Tidak hanya dibebankan kepada BKSDA, tetapi butuh keterlibatan para pihak agar satwa yang dilindungi itu tidak punah masa akan datang.
“Butuh banyak orang terlibat dalam mencegah konflik satwa, terutama gajah di Aceh. Kegiatan ini terselenggara atas dukungan dari TFCA Sumatera dan Lembaga Suar Galang Keadilan, kita juga berharap bisa terus terlibat untuk melakukan perlindungan satwa dilindungi,” jelasnya.
FJL, sebutnya, terus mengawal melalui peran dan fungsinya dalam melakukan kampanye dan memberikan edukasi melalui media massa. Diharapkan dengan adanya pemberitaan tentan konservasi, bisa menambah wawasan masyarakat pentingnya melindungi satwa yang dilindungi di Aceh.(Red)***
Acara tersebut dihadiri kepala Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arianto, Kapolres Aceh Jaya yang diwalikili oleh Kasat Reskrim Aceh Jaya Iptu Bima Nugraha Putra, Asosiasi Keuchiek Teunom, Aceh Jaya, akademisi dan sejumlah elemen lainnya.
Diskusi ini digelar guna menyikapi ditemukan tulang-belulang 5 ekor gajah di Gampong Peuriya, Kecamatan Pasie Raya, Kabupaten Aceh 1 Januari 2020 lalu. Bangkai gajah itu ditemukan dalam kebun sawit milik warga. Gajah diduga mati akibat tersengat arus listri, karena di lokasi ditemukan kabel listrik terpasang setinggi 1,5 meter.
Kasat Reskrim Polres Aceh Jaya, Iptu Bima Nugraha Putra mengatakan, berdasarkan hasil olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) ditemukan enam titik penemuan bangkai gajah. Di lokasi itu ditemukan ada 4 ekor kerangka kepala gajah yang bisa diidentifikasi berjenis kelamin 2 betina dan 2 jantan.
“Sedangkan satu ekor lagi tak dapat diperkirakan, karena tinggal tulang belulang,” kata Iptu Bima Nugraha Putra.
Kata Bima, di lokasi ditemukan kawat yang memiliki arus listrik setinggi 1,5 meter. Diperkirakan kawat listrik itu sengaja dipasang untuk gajah, bukan untuk satwa lainnya.
Proses pengungkapan kasus kematian gajah ini, sebutnya, penyidik sudah memeriksa sejumlah saksi. Seperti pemilik lahan, kepala desa, warga dan sejumlah saksi lainnya.
“Sedangkan tersangka belum ada sekarang, masih dalam proses penyelidikan,” ungkapnya.
Kepala BKSDA Aceh, Agus Arianto menjelaskan, konflik satwa gajah dengan manusia tidak terlepas habitatnya sudah terganggu. Habitat gajah semakin berkurang dan telah terfragmentasi dan 85 persen populasinya berada di luar Kawasan konservasi, bahkan sudah berada di luar Kawasan hutan.
“Konflik satwa tidak terlepas habitat sudah terganggu,” kata Agus.
Berdasarkan data BKSDA Aceh, konflik gajah di Aceh lima tahun terakhir mengalami peningkatan. Pada 2015 lalu 39 kali konflik naik pada 2016 menjadi 44 kali. Terus terjadi peningkatan pada 2017 menjadi 103 kasus, meskipun terjadi penurunan pada 2018 hanya 73 kasus. Tetapi kembali meningkat pada 2017 sebanyak 107 kasus.
“Konflik satwa semakin meningkat selama 5 tahun terakhir. Meningkat ini juga ditambah tidak ada strategi khusus penanganan konflik,” ungkap Agus.
Sedangkan data kematian gajah dari 2016 hingga 2020 ada 38 gajah mati. Penyebab kematian gajah 74 persen karena konflik, 14 persen perburuan dan 12 persen mati alami.
“Harapan saya kedepan dapat kita sosialisasikan agar dapat meminimalisir konflik gajah,” jelasnya.
Sementara itu Kabid Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh, Muhammad Daud menjelaskan, tidak benar ada pembiaran terhadap perlindungan satwa liar di Aceh. Pemerintah bahkan sudah membuat sejumlah regulasi, termasuk qanun Pengelolaan Satwa Liar yang masih menunggu penomoran dari Kemendagri.
“Tidak benar ada pembiaran, pemerintah sudah membuat sejumlah regulasi,” jelasnya.
Kata Daud, pemerintah sangat berkomitmen untuk terus menjaga hutan seluas 3,5 juta hektar. Dengan menjaga hutan, bisa mencegah terjadinya konflik satwa dilindungi di Aceh.
Koordinator FJL Aceh, Afifuddin berharapkan, seluruh pemangku kepentingan dapat terlibat mencegah konflik satwa. Tidak hanya dibebankan kepada BKSDA, tetapi butuh keterlibatan para pihak agar satwa yang dilindungi itu tidak punah masa akan datang.
“Butuh banyak orang terlibat dalam mencegah konflik satwa, terutama gajah di Aceh. Kegiatan ini terselenggara atas dukungan dari TFCA Sumatera dan Lembaga Suar Galang Keadilan, kita juga berharap bisa terus terlibat untuk melakukan perlindungan satwa dilindungi,” jelasnya.
FJL, sebutnya, terus mengawal melalui peran dan fungsinya dalam melakukan kampanye dan memberikan edukasi melalui media massa. Diharapkan dengan adanya pemberitaan tentan konservasi, bisa menambah wawasan masyarakat pentingnya melindungi satwa yang dilindungi di Aceh.(Red)***